![]() |
Bangunan: Inilah bangunan peninggalan pasukan Belanda di Desa Timba Nuh, Kecamatan Pringgasela, Lombok Timur. (Foto/istimewa) |
"Penjajahan di tanah Lombok tak bisa disangkal. Buktinya banyak peninggalan sebagai buktinya,".
SELONG, KELAMPAN.com - Jejak kolonialisme tak dapat ditolak menjadi bagian sejarah masa lalu di Pulau Lombok. Kehadirannya masih bisa ditemukan dalam sejumlah bukti berupa bangunan dan peninggalan lainnya.
Dalam catatan sejarah Lombok, Belanda pertama kali menjejakkan kakinya di pulau Seribu Masjid pada tanggal 5 Juli 1894. Invasi Negeri Kincir Angin ini di pimpinan Jendral Vetter dan Residen Dannenbargh.
Upaya penaklukan yang dilakukan Belanda tidak mulus. Perlawanan yang tajam terhadap milisi lokal membuat mereka menginginkannya.
Pada invasi pertama dengan serdadu yang didatangkan, rupanya tidak cukup membuat orang Lombok bertekuk. Alih-alih menyerah, serdadu Belanda justru dipukul mundur di tahun yang sama.
Sadar dengan kekuatan milisi lokal yang begitu militan, Belanda mendatangkan bantuan bala. Mereka datang dalam jumlah pasukan yang lebih besar.
Baru pada tahun 1898 Lombok dipecah menjadi tiga bagian daerah administratif. Yakni Lombok Timur, Lombok Tengah, dan Lombok Barat. Kondisi itu rupanya membuat penjajah semakin kuat menguasai Lombok.
Invasi itu sudah ratusan tahun berlalu. Namun bukti keberadaan ras kulit putih di tanah Lombok masih bisa ditemui.
Salah satu buktinya yakni sebuah rumah peninggalan Belanda di ujung Utara di kaki gunung Rinjani. Peninggalan itu tepatnya di Dusun Pesanggrahan, Desa Timbanuh, Kecamatan Pringgasela, Lombok Timur.
Rumah peninggalan itu merupakan salah satu bekas benteng pertahanan kolonial Belanda pada waktu itu.
"Rumah ini didirikan oleh Belanda tahun 1932," ujar pengelola bangunan tersebut, Taufiqurrohman.
Bangunan rumah Pesanggrahan ini berdiri di atas tanah seluas 9 are. Sejak didirikan, suasana bangunan itu sangat eksklusif.
Tak satu pun warga pribumi yang bisa masuk maupun hanya sekedar mendekati bangunan tersebut.
Masih melekat dalam ingatan masyarakat setempat, serdadu Belanda datang dari arah barat. Lengkap dengan senjata yang dibawanya.
Warga sesungguhnya mengetahui orang-orang yang datang adalah penjajah. Tapi tak memberikan perlawanan apapun.
Masyarakat, mencoba melebur dengan mereka. Meski diakuinya pasti ada sekat.
“Menurut cerita orang tua di sini, pasukan Belanda tidak terlalu akrab dengan masyarakat setempat,” tuturnya.
Sepuluh tahun berselang, tepatnya tahun 1942 Jepang berdatangan. Mengusir tentara Belanda.
Perlawanan tentara Jepang rupanya membuat kocar kacir serdadu Belanda, berlari menyebar turun bukit, salah satunya ialah arah ke Tete Batu.
Oleh masyarakat setempat, pimpinan Jepang dikenal dengan nama Tuan Kumiya. Pemimpin pasukan negara Matahari Terbit itu, sedikit ramah dengan penjajah sebelumnya.
Namun Jepang pun tak bertahan lama sejak tahun 1945 Indonesia resmi merdeka. Barulah tempat itu dapat dimasuki oleh masyarakat setempat.
"Beda perlakuan Jepang dan Belanda. Jepang menurut cerita di sini lebih ramah," ucapnya.
Saat ini rumah peninggalan itu, dijadikan salah satu destinasi wisata edukasi. Karena selain memiliki peninggalan bangunan rumah, juga didapati dua kolam.
Belum lagi, karena keberadaannya di tempat yang tinggi membuat pesona lokasi ini semakin menarik jika di kunjungi.
Dari lokasi pengunjung bisa melihat indahnya gunung Rinjani. Sebab, destinasi satu ini secara kebetulan berada tak jauh dari salah satu pintu masuk pendakian.
Selanjutnya, pengunjung bisa melihat indahnya pulau-pulau kecil yang berada ditengah laut. Serta, jejeran pohon kelapa yang semakin mempercantik pemandangan.
Tak heran banyak pelajar atau pun warga yang datang meski hanya untuk sekedar berkemah.
Letaknya yang berada di ketinggian, disebutnya membuat tempat itu banyak dinikmati oleh pengunjung. Ini karena di lokasi itu menawarkan pemandangan yang cukup eksotis.
Di sekitar bangunan ini dikelilingi taman yang indah. Belum lagi ada juga tumbuh 7 pohon cherry tua. Suasana ini menambah kekhasan tempat itu.
Selain peninggalan berbentuk rumah, juga ada yang lainnya seperti keris, samurai, bedil, foto-foto dan lain sebagainya.
Namun peninggalan itu, telah diamankan oleh Pemerintah Daerah (Pemda), pada saat Ali Bin Dachlan menjabat Bupati Lotim pada periode pertama.
Bukan hanya mengamankan beberapa peninggalan. Namun juga mengubah ketinggian tembok bangunan dan cat temboknya.
“Warnanya dulu merah, tapi dirubah menjadi warna kantoran,” ucapnya.
Selain itu, bebernya, pada masa kepemimpinan Ali Bin Dahlan tempat ini sering ditempati. Bupati Lotim dua periode itu menempati bangunan tersebut untuk sekedar melepas penat dari bisingnya kota.
Nantinya, di lokasi ini ia akan menambah berapa spot foto, untuk mempercantik tempat itu. Dan membuat replika kapal Nabi Nuh, di dekat tembok pembatas.
Tapi bagi yang berminat camping ground di tempat itu dipersilahkan. Pihak pengelola sudah menyiapkan alat perkemahan.
"Sangat murah kami hitung Rp 10 ribu per orang. Jika full service sekitar Rp 250 saja. Tapi malam Jum'at kami liburkan untuk semua aktivitas di tempat itu," pungkasnya. (r1)